Ota Jin (Kota Jin) Salah Satu Tempat Bersejarah di Gorontalo/Ist Manadotopnews.com - Suku Atinggola, Lokasi berada dipanta...
Manadotopnews.com - Suku Atinggola, Lokasi berada dipantai utara Propinsi Gorontalo, merupakan suku yang masuk dalam sub etnis Gorontalo (Hulondalo) dengan bahasa yang mirip dengan bahasa Mongondouw, ciri khasnya adalah pada pengucapan huruf “R” dan “L”, selalu cedal dimana dalam pengucapannya kedua huruf itu sama bunyinya, sedangkan kosa katanya banyak yang mirip bahasa Gorontalo. Sebagai contoh bila mngucapkan Gorontalo menjadi “Hurondaro” dan Atinggola sendiri disebut “Atingora”.
Konon orang Atinggola adalah orang Ternate yang pada abad pertengahan tidak setuju atas kebijaksanaan Kolonial Belanda di Ternate hal tersebut dapat dilihat dari nama keluarga “Patilima”. Para leluhur berlayar ke Pulau Lembeh (pulau seberang kota Bitung, Sulawesi Utara). Nampaknya di Pulau Lembeh ini juga tidak cocok berangkatlah dengan perahu menuju desa Inobonto, namun hal ini juga belum memberi kesesuaian.
Sehingga akhirnya tiba di Tuntung, Dalapuli, Buko dan Tontulouw (Kec. Kaidipang, Kab Bolmong, Prop. Sulawesi Utara). Sehingga akhirnya tiba di Muara Sungai Andagile (Andagire), yang konon sungai ini berhulu di gunung Tilong Kabila (merupakan gunung tertinggi di Gorontalo). Dimuara sungai ini dibangunlah kerajaan di Ota Jin (konon dulu dikuasai oleh para Jin), sehingga sampai saat ini dapat dilihat dengan nama Kotajin (merupakan Batu Karang besar mirip rumah / orang dulu menyebut rumah / kerajaan Jin) sangat cocok untuk dapat dijadikan tempat berwisata.
Konon di daerah itu telah di huni oleh orang Minahasa dengan nama keluarga Mahengke, beliau orang yang sakti dan menganut agama Islam, begitu meninggal beliau dimakamkan di sebelah sungai Monggupo, saat sungai banjir maka tanah makam itu terangkat hingga saat ini. Kini makam beliau nampak lebih tinggi dari tanah sekitarnya dan setiap tahun makam menjadi lebih tinggi dari pada daerah sekitarnya.
Hal lain yang unik didaerah ini adalah kegiatan Mandi Safar, dimana pada hari Rabu minggu kedua bulan Safar selalu diadakan mandi di pantai Kota Jin yang diakhiri dengan saling siram kepada siapa yang dijumpai, pembaca tidak perlu marah karena bila saat acara itu sempat singgah di Atinggola mendapat siraman air. Bila dilihat dari jumlah penduduk yang sedikit maka dapat dikatakan sumber daya alam masih mampu mendukung kelangsungan kehidupan masyarakatnya karena mayoritas adalah petani walaupun beberapa orang mengikuti kebiasaan orang Gorontalo lainnya yaitu berniaga.
Kalau dilihat adat istiadat yang ada di Atinggola sama dengan kebiasaan orang Gorontalo, misalnya pada kegiatan Lembaga Adat, karena merupakan bagian dari 5 keluarga besar di Gorontalo yang dikenal sebagai Doluwo Lou Limo Lo Pohala’a, Sehingga mengangkat pejabat kepemerintahan sebagai raja yang harus dihargai. Penulis merasa kaget saat menjadi Kapolsek didaerah itu.
Hal yang perlu di ambil dari cerita saat daerah ini menjadi wilayah perbatasan RI dengan Permesta pada tahun 1957 maka dapatlah dikatakan mayoritas masyarakat Atinggola tetap mengikuti NKRI meskipun daerah tersebut telah dikuasai oleh pasukan Permesta. Hal ini karena pahlawan nasional dari Gorontalo yaitu Nani Wartabone tetap menginginkan ikut NKRI. Kalau dilihat dari cerita saat itu Gorontalo belum seluruhnya dikuasai oleh Permesta karena pasukan Permesta bisa dibendung hingga Tanjung Samia. Beberapa sumber di Atinggola menceritakan saat dikuasai oleh Permesta, masyarakat tidak diperbolehkan menggunakan mata uang Rupiah, dan dilakukan penjatahan pakaian karena segala pakaian harus diserahkan kepada Permesta.
Hal yang membuat kuatnya untuk tetap bergabung kepada NKRI dikarenakan ketidak becusan Permesta dalam mengelola roda pemerintahan pada saat itu. Mereka tidak bebas bergerak kemana-mana karena harus memiliki paspor bila akan pergi ke Gorontalo, dan disana sini banyak dipasang posko-posko yang membuat masyarakat tidak nyaman dengan posko itu. Masyarakat tidak bisa memiliki barang pribadi sedikitpun bahkan pakaian yang dipakaipun bila melewati posko maka akan segera ditangkap oleh pasukan Permesta, dan disuruh melepaskan pakaian saat itu juga.
Perasaan horor itu bisa teratasi setelah adanya serangan dari pasukan TNI di pantai Buko, Kaidipang. Dan seluruh pasukan Permesta di tangkap pada tahun 1961, dan dilakukan pengampunan terhadap eks pasukan Permesta. Kalau dilihat dari cerita tadi dapatlah dikatakan kalau kesatuan dan persatuan NKRI akan lebih baik dari pada bercerai berai. Mengingat negara Kita adalah Maritim, maka solusinya adalah negara kesatuan adalah jawaban yang paling tepat, walaupun dalam kepemerintahan adalah Desentralisasi, hal ini untuk menjaga keseimbangan Pusat dan daerah. (*/ats/sh)
Konon orang Atinggola adalah orang Ternate yang pada abad pertengahan tidak setuju atas kebijaksanaan Kolonial Belanda di Ternate hal tersebut dapat dilihat dari nama keluarga “Patilima”. Para leluhur berlayar ke Pulau Lembeh (pulau seberang kota Bitung, Sulawesi Utara). Nampaknya di Pulau Lembeh ini juga tidak cocok berangkatlah dengan perahu menuju desa Inobonto, namun hal ini juga belum memberi kesesuaian.
Sehingga akhirnya tiba di Tuntung, Dalapuli, Buko dan Tontulouw (Kec. Kaidipang, Kab Bolmong, Prop. Sulawesi Utara). Sehingga akhirnya tiba di Muara Sungai Andagile (Andagire), yang konon sungai ini berhulu di gunung Tilong Kabila (merupakan gunung tertinggi di Gorontalo). Dimuara sungai ini dibangunlah kerajaan di Ota Jin (konon dulu dikuasai oleh para Jin), sehingga sampai saat ini dapat dilihat dengan nama Kotajin (merupakan Batu Karang besar mirip rumah / orang dulu menyebut rumah / kerajaan Jin) sangat cocok untuk dapat dijadikan tempat berwisata.
Konon di daerah itu telah di huni oleh orang Minahasa dengan nama keluarga Mahengke, beliau orang yang sakti dan menganut agama Islam, begitu meninggal beliau dimakamkan di sebelah sungai Monggupo, saat sungai banjir maka tanah makam itu terangkat hingga saat ini. Kini makam beliau nampak lebih tinggi dari tanah sekitarnya dan setiap tahun makam menjadi lebih tinggi dari pada daerah sekitarnya.
Hal lain yang unik didaerah ini adalah kegiatan Mandi Safar, dimana pada hari Rabu minggu kedua bulan Safar selalu diadakan mandi di pantai Kota Jin yang diakhiri dengan saling siram kepada siapa yang dijumpai, pembaca tidak perlu marah karena bila saat acara itu sempat singgah di Atinggola mendapat siraman air. Bila dilihat dari jumlah penduduk yang sedikit maka dapat dikatakan sumber daya alam masih mampu mendukung kelangsungan kehidupan masyarakatnya karena mayoritas adalah petani walaupun beberapa orang mengikuti kebiasaan orang Gorontalo lainnya yaitu berniaga.
Kalau dilihat adat istiadat yang ada di Atinggola sama dengan kebiasaan orang Gorontalo, misalnya pada kegiatan Lembaga Adat, karena merupakan bagian dari 5 keluarga besar di Gorontalo yang dikenal sebagai Doluwo Lou Limo Lo Pohala’a, Sehingga mengangkat pejabat kepemerintahan sebagai raja yang harus dihargai. Penulis merasa kaget saat menjadi Kapolsek didaerah itu.
Hal yang perlu di ambil dari cerita saat daerah ini menjadi wilayah perbatasan RI dengan Permesta pada tahun 1957 maka dapatlah dikatakan mayoritas masyarakat Atinggola tetap mengikuti NKRI meskipun daerah tersebut telah dikuasai oleh pasukan Permesta. Hal ini karena pahlawan nasional dari Gorontalo yaitu Nani Wartabone tetap menginginkan ikut NKRI. Kalau dilihat dari cerita saat itu Gorontalo belum seluruhnya dikuasai oleh Permesta karena pasukan Permesta bisa dibendung hingga Tanjung Samia. Beberapa sumber di Atinggola menceritakan saat dikuasai oleh Permesta, masyarakat tidak diperbolehkan menggunakan mata uang Rupiah, dan dilakukan penjatahan pakaian karena segala pakaian harus diserahkan kepada Permesta.
Hal yang membuat kuatnya untuk tetap bergabung kepada NKRI dikarenakan ketidak becusan Permesta dalam mengelola roda pemerintahan pada saat itu. Mereka tidak bebas bergerak kemana-mana karena harus memiliki paspor bila akan pergi ke Gorontalo, dan disana sini banyak dipasang posko-posko yang membuat masyarakat tidak nyaman dengan posko itu. Masyarakat tidak bisa memiliki barang pribadi sedikitpun bahkan pakaian yang dipakaipun bila melewati posko maka akan segera ditangkap oleh pasukan Permesta, dan disuruh melepaskan pakaian saat itu juga.
Perasaan horor itu bisa teratasi setelah adanya serangan dari pasukan TNI di pantai Buko, Kaidipang. Dan seluruh pasukan Permesta di tangkap pada tahun 1961, dan dilakukan pengampunan terhadap eks pasukan Permesta. Kalau dilihat dari cerita tadi dapatlah dikatakan kalau kesatuan dan persatuan NKRI akan lebih baik dari pada bercerai berai. Mengingat negara Kita adalah Maritim, maka solusinya adalah negara kesatuan adalah jawaban yang paling tepat, walaupun dalam kepemerintahan adalah Desentralisasi, hal ini untuk menjaga keseimbangan Pusat dan daerah. (*/ats/sh)